Suatu pagi datang seorang pemuda yang dirundung masalah kepada seorang ustad. Langkahnya gontai dan mukanya muram. Kepada ustad berwajah teduh itu ia tumpahkan segala permasalahannya.
Usai menyimak cerita pemuda, ustad mengambil segenggam garam dan menaburkannya ke air putih yang dihidangkan kedalam gelas. Setelah diaduk ia berujar, “Coba minum ini,Katakan bagaimana rasanya?” Walau keheranan, pemuda itu meminumnya. “Puih…..pahit. Pahit sekali!” katanya sambil meludah kesamping.
Sambil tersenyum, ustad itu kemudian mengajaknya ketelaga dipinggir hutan,tak jauh dari tempat tinggalnya. Dari kantongnya, Ustad mengambil segenggam garam dan menaburkan ke telaga, lalu mengaduknya dengan sepotong kayu sampai airnya beriak, “Coba ambil air dari telaga ini,dan minumlah”. Si pemuda mematuhinya, dengan mereguk air setangkup tangannya. “Bagaimana rasanya?” kata ustad. “Segar!” sahut pemuda. “Apakah kamu merasakan garam dalam air itu?” lanjut ustad. ”Tidak”, jawab si pemuda yakin.
Dengan bijak, ustad itu menepuk nepuk punggung si pemuda. “Anak muda, pahitnya kehidupan ini layaknya segenggam garam,tak lebih dan tak kurang. Jumlah dari rasa pahit itu sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Wadah itu adalah hatimu!”
“ Saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu yang bisa kamu lakukan : lapangkanlah hatimu menerima semuanya. Maka, jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana talaga yang mampu merendam setiap kepahitan, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
11.5.10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar